CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Rabu, 02 September 2009

Cin(T)a: Menilik Realita Antara Cinta


Judul Film: Cin(T)a
Sutradara:Sammaria Simanjutak
Pemeran: Sunny Soon, Saira Jihan
Distributor: Sembilan Matahari


Indonesia ialah Negara yang dimaraki oleh berbagai etnis dan agama. Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa perbedaan merupakan hal yang membatasi hubungan di antara dua insan dari kalangan berbeda. Namun, hal tersebut tidaklah menghalangi lahirnya cinta.

Itulah hal yang terjadi antara tokoh Anissa dan Cina, dua individu dari kehidupan yang berbeda.

Cina(Sunny Soon), pemuda beretnis cina, berkarakter lugu dan optimistik dengan mimpinya meraih beasiswa ke Singapura. Setelah memulai hari sebagai mahasiswa baru di sebuah universitas di Bandung, ia bertemu Anissa (Saira Jihan), gadis Jawa berparas elok yang besar dalam adat muslim yang ketat. Kuliah Anissa di jurusan Arsitektur terhambat akibat keterlibatannya di kancah industri perfilman. Dirundung ketakutan gagal menyelesaikan Tugas Akhir, Anissa pun meminta bantuan Cina, yang kebetulan tengah mengalami kesulitan ekonomi. Biarpun memperoleh bayaran dari Anissa, Cina mengecap kenikmatan lain dalam menghabiskan waktu bersama gadis yang usianya pun jauh di atas dirinya. Namun, bom yang mengoyak gereja-gereja Kristen pada tahun 2000 seakan menuturkan perbedaan yang kentara di antara keduanya. Seakan Tuhan sendiri yang membatasi asmara di antara keduanya.

Film ini berpusat hanya kepada tokoh Cina dan Anissa serta kehidupan religi mereka. Seringkali keduanya tenggelam dalam diskusi antar agama yang bersifat inklusif. Pergulatan debat mereka dikemas dalam percakapan yang santai dan terbilang jenaka. Keduanya tak ragu melontarkan pernyataan mengenai ajaran agama masing-masing, namu mau memahami agama lain secara dewasa. Toleransi atas keduanya dibuktikan dalam hampir seluruh adegan film, terutama kala Cina membantu Anissa membuat ketupat saat Idul Fitri serta saling membuat Pohon Natal saat Natal tiba.

Dialog antar tokoh Anissa dan Cina pun juga menjurus pada diskusi mengenai perbedaan ras keduanya. Seperti saat Cina menyatakan bahwa Anissa menjalin asmara dengan pria dari berbagai etnis, kecuali yang berdarah tionghoa. Ledekan rasis pun sempat terlontar dari tokoh Anissa kala ia mengakui bisa menduga perasaan seorang lelaki terhadap dirinya lewat pandangan mata. "Gue nggak bisa liat. Mata lo kekecilan," ujarnya, kala menatap mata Cina.

Film independen karya Institut Teknologi Bandung(ITB) ini mengambil setting off-frame. Menurut sang sutradara, Sammaria Simanjutak, semua adegan hanya terpusat pada tokoh Anissa dan Cina semata. Sementara karakter lainnya hanya menyumbang suara saja atau tampil secara fisik namun tidak ditonjolkan. Setting ini diambil agar menimbulkan suasana "Dunia Milik Berdua", antara tokoh Cina dan Anissa. Sementara Sammaria juga menegaskan bahwa selain Cina dan Anissa, karakter yang vital dalam film ini ialah Tuhan. Tuhan, menurut Sammaria, hadir secara menyeluruh sekaligus abstrak dalam seluruh plot cerita.

Banyak adegan dalam film ini yang sebenarnya merupakan lambang dari korelasi antar tokoh. Emosi kedua tokoh pun dilambangkan juga dari jari keduanya yang digambarkan emoticon. Anissa menggambarkan matanya memanjang ke bawah sebagai lambang matanya yang besar, sementara Cina menggambar mata yang kecil atau sipit. Film ini pun juga menghadirkan kehadiran tokoh semut yang biasa bermain bebas di tangan Cina ataupun Anissa. Biarpun terlihat tak penting, semut sering memaraki banyak adegan dari film. Kebebasan yang diberikan kedua tokoh, dalam membiarkan "Si Semut" bermain tanpa mengusiknya, nampaknya merupakan lambang dari kebebasan yang diberikan Tuhan bagi manusia dalam menjalani hidup.

Aktor dan aktris pendatang baru, Sunny Soon dan Saira Jihan, mampu mendalami perannya sebagai tokoh Cina dan Anissa dengan sangat baik. Sunny mampu memainkan karakter Cina yang naif sekaligus cerdas, baik dalam adegan yang bersifat santai maupun emosional. Saira Jihan pun mampu memerankan tokoh Anissa yang cenderung lebih diam.

Sayangnya, bagian akhir film yang sangat mengganjal bisa nampak menghambat keseluruhan jalan cerita bila dilihat dari persepsi yang salah. Seusai menyaksikan keseluruhan film, banyak orang berpikir film ini memaparkan bahwa perbedaan etnis dan agama merupakan hambatan besar yang tak bisa ditolerir antara sepasang insan. Nyatanya tidak juga. Sebetulnya, film ini lebih memaparkan kasus untuk dijadikan bahan pertanyaan atau diskusi mengenai kasus yang seringkali terjadi. Namun, bila kita melihat film ini sebagai jawaban, dari kasus yang tengah marak di Nusantara ini, kita akan melihat film ini hanya sebagai sebuah kisah tanpa kejelasan atau menimbulkan kontroversi. Maka, film ini ada baiknya dilihat tidak dari sebelah mata, namun harus ditanggapi secara meluas.

Audio film ini pun juga belum terbilang sempurna, terutama dalam adegan diskusi agama antara Cina dan Anissa di Taman Bermain. Dialog yang dilontarkan bersifat sahut-sahutan dan sangat cepat sehingga ada beberapa dialog yang sulit ditangkap.

Film independen, yang telah di-launching di London, United Kingdom, ini merupakan film yang sangat baik untuk dijadikan bahan diskusi antara agama. Menanggapi apakah bisa sedemikian banyaknya realita yang bisa menghalangi persatuan antara dua insan manusia.

Lebih jelasnya bisa dilihat di trailer film ini sendiri (klik saja!).

(more and more I wanna say thanks to Ci Sonia Widjaja who brought me to see this movie. Long live indie movie, truly Indonesian soul! <3">)

0 komentar: